Monday, October 16, 2006

be a father

Ketika menjadi seorang ayah, seseorang dihadapkan pada dua pilihan : menjadi seseorang yang berwibawa tapi kurang dekat dengan anak atau menjadi dekat dengan anak tapi berkurang kewibawaannya.
Kewibawaan dan kedekatan dengan anak adalah sebuah trade off. Gua percaya itu. Kita gak bisa pilih dua2nya. Itu adalah dua sisi, satu pada ujung kiri, satu pada ujung kanan. Ini bukan pilihan hitam putih. Kalo kita dekat dengan anak, kita tidak akan berwibawa sama sekali. Atau pun sebaliknya. Ini adalah pilihan abu2, percampuran warna hitam dan putih. Semakin banyak warna hitamnya maka akan semakin berkurang warna putihnya dan semakin gelap warna abu2 yang terbentuk.
Semakin dekat dengan anak, maka semakin kurang berwibawa kita. Dan semakin berwibawa kita dihadapan anak, semakin kurang dekat kita dengan anak. Kita tinggal memilih, mau seberapa gelap/terang warna abu2 yang kita pilih.

Saudara sepupu saya adalah termasuk yang gak dekat dg ayahnya. Semenjak kecil dia gak pernah minta uang sama ayahnya, gak berani, sampai sekarang. Dia udah nikah sekarang, udah punya anak, tapi masih takut merokok di depan ayahnya. Ayahnya tau dia merokok, dan dia tau bahwa ayahnya tau dia merokok, tapi dia tetep gak berani. Selalu sembunyi2, atau pergi saat ingin merokok. Pokoknya tidak dihadapan ayahnya. Dia gak pernah bisa berdiskusi dengan ayahnya, sampai sekarang. Pembicaraan adalah sekadar basa basi. Tidak terjadi diskusi atau tukar pendapat. Tidak ada demokrasi.

Menjadi seorang ayah yang berwibawa bukanlah sebuah pilihan yang menyenangkan, itu adalah sebuah pilihan yang berat, sebuah pilihan karena tanggung jawab. Karena suatu saat dia menjadi tua, dia tidak akan merasakan kedekatan dengan sang anak. Jurang sudah terlanjur lebar. Tidak akan ada telpon dari anak. Kalopun ada, akan sangat jarang. Teman saya bilang, dia gak pernah bisa nelpon ayahnya lebih dari 3 menit. Bukan berarti dia gak mau, tapi udah terlanjur kaku.

Seorang ayah adalah seorang penanggung jawab keluarga. Dia yang memberikan pengaruh terbesar, akan menjadi apa anak2nya nanti. Dia harus bisa memberikan pengarahan. Untuk bisa memberikan pengarahan, maka kata2nya harus didengar. Untuk bisa didengar, maka dia harus berwibawa. Bukan berarti tidak berkomunikasi, tapi menempatkan diri ketika berkomunikasi. Menempatkan diri sebagai seorang ayah, seorang pemimpin, bukan seorang teman. Seorang ayah yang berwibawa tidak akan bisa menjadi teman dari anak2nya.

Sekali lagi, ini adalah sebuah wilayah abu2, bukan hitam putih. Jangan diartikan sebagai titik ekstrem, tapi sebagai kombinasi.

2 comments:

Anonymous said...

Sebelom jadi ayah..buktikan dulu berani jadi suami.....
Berani terima tantangan..??

encep subona said...

insyaallah berani boss.
do'akan aja tahun depan. ;)